A. Pengertian kontrak,
perjanjian dan perikatan dan perbedaannya.
Kontrak
Secara Umum
Kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) antara
dua pihak atau lebih yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan
hubungan hukum.
Menurut
Daeng Naja pengertian kontrak dapat dipahami dalam arti sempit dan arti luas.
Kontrak dalam arti sempit adalah suatau perjanjian tertulis. Dan dalam arti
luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefiniskan hubungan antara dua belah
pihak atau lebih. Sementara menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) pasal
1233 menjelaskan bahwa kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri.
Perikatan
Dalam hukum
perdata Indonesia hukum perikatan diartikan dengan sesuatu hal yang mengikat
antara orang yang satu dengan orang yang lain. Prof Subekti perikatan adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hal yang mengikat
itu maksudnya adalah peristiwa hukum yang dapat menciptakan hubungan hukum bagi
kedua belah pihak.
Pada
dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan
tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu
perbuatan hukum salah satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.
Jadi lebih
jelsanya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak
berdasarkan dimana pihak satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan
pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian
Menurut Subekti,
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Sementara dalam literatur lain hakekat antara perjanjian dan perikatan pada
dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat
didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab
hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian
tetapi juga dari aturan perundang-undangan
B. Perbedaannya Kontrak,
Perjanjian dan Perikatan
1. Perikatan dibuat secara tertulis
2. Kontrak umumnya dibuat bisa secara
tertulis
3. Perjanjian bisa tertulis dan bisa lisan
4. Perikatan lahir dari undang-undang
5. Perikatan merupakan suatu pengertian yang
abstrak karena cakupannya yang luas, sedangkan perjanjian adalah suatu
peristiwa hukum yang konkrit.
6. Kontrak dan perjanjian lhir dari
kesepakatan kedua belah pihak
7. Istilah perikatan sebagai padanan istilah
belanda verbintenis
8. Istilah perjanjian sebagai padanan istilah
belanda overeenkomst
Skema perbedaan
Kontrak, Perjanjian dan Perikatan
|
Kontrak
|
Perjanjian
|
Perikatan
|
Bentuk
|
Tertulis
|
Tertulis / tdk tertulis
|
Tertulis
|
Sumber / Asal Terjadinya
|
Kesepakatan para pihak
|
Kesepakatan dua orang atau lebih
|
Dari aturan per-undang-undangan.
Dari Perjanjian
|
Konsekuensi hukumnya
|
Memiliki konsekwensi hukum yang mengikat seperti halnya dalam perjanjian
|
Tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak
yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata
ingkar janji.
menimbulkan ingkar janji (wanprestasi).
|
Masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksan-aan prestasi
dari masing-masing pihak yang telah terikat.
Perbuatan melawan hukum (PMH).
|
Cakupan
|
Sangat sempit
|
Sempit
|
Luas
|
Hakikat
|
Digunakan kusus untuk perikatan
bisnis seperti MoU dan LoI
|
Lebih menitikberatkan pada hasil kesepakatan para pihak
|
Selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan
oleh undang undang
|
C. Konsep Islam tentang
Perikatan
Kata
“perikatan” dan “perjanjian” memiliki makna yang sama dengan kata ‘aqd
dalam bahasa Arab. Menurut Syamsul Anwar konsep perikatan dalam kazanah
keislaman merupakan istilah kontemporer, walaupun istilah itu sudah sering
dipakai sejak zaman klasik. Dalam hukum Islam pra Modern istilah perikatan secara
umum biasa disebut dengan istilah ”iltizam”. Hanya saja istilah ”iltizam”
hanya dipakai untuk menunjukan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak
saja. Dan untuk menunjukan perikatan yang timbul dari kehendak kedua belah
pihak, ulama menyebutnya dengan istilah ”terisinya dzimmah”, dengan
menekankan pada hak dan kewajiban. ”Dzimmah” secara harfiah adalah tanggungan,
sedangkan secara terminologis adalah suatu wadah dalam diri setiap orang tempat
menampung hak dan kewajiban.
Dari uraian
di atas, ulama mendefinisi perikatan dengan terisinya dzimma seseorang yang berkaitan dengan hak ataupun
kewajiban. Dengan demikian, istilah perikatan (iltizam) dalam hukum islam
adalah terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang
wajib ditunaikannya kepada seseorang atau kepada pihak lain. Mustafa
az-Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Syamsul Anwar, mendefinisikan perikatan
(iltizam) lebih menitikberatkan pada kewajiban seseorang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain. Definisi di atas
memberikan pengertian bahwa hak dan kewajiban yang timbul pada para pihak
sebagai objek dalam hukum perikatan islam. Lebih jauh Syamsul Anwar menguraikan
tentang pandangan orientasi hukum perikatan, yakni orientasi objektif dan
subjektif. Orientasi subjektif lebih menitik beratkan pada hubungan antar
subjek perikatan, yaitu debitur dan kreditur. Semangat ini diikuti oleh
bangsa-bangsa latin, termasuk kode sipili Napoleon. Gagasan ini muncul dari
hukum Romawi kuno. Sementara orientasi objektif lebih melihat pada sisi objek
perikatan yang berupa hak dan kewajiban. Pandangan ini dianut oleh hukum negara
Jerman.
D. Syarat
kontrak/Perjanjian dalam hukum perdata dan hukum Islam.
Syarat kontrak/Perjanjian
dalam hukum perdata dan hukum Islam.
Dari
berbagai literatur yang ada baik dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam, tidak
ada perbedaan dalam membahasakan kata kontrak dan perjanjian tentang syarat dan
rukun dalam perjanjian/kontrak. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya
tentang pengertian kontrak, perjanjian dan perikatan. Dalam pasal 1320 KUH
Perdata Indonesia dinyatakan bahwa untuk sahnya perikatan ada 4 (empat) syarat
yang harus dipenuhi, yaitu:
1.
Adanya
perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari mereka yang membuat
perjanjian (toestemming);
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid);
3.
Mengenai
suatu hal atau obyek tertentu (bepaalde onderwerp);
4.
Adanya
sebab (kausa) yang dibenarkan (georloofde oorzak).
Sementara dalam hukum Islam
syarat sahnya sebuah perjanjian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Adanya Para Pihak, dan harus tamyiz
a. Tamyiz
b.Berbilang Pihak
2.Pernyataan Kehendak
a. Sesuai Ijab dan Kabul (kata Sepakat)
b.Kesatuan Majelis
3.Obyek Akad:
a. Dapat diserahterimakan
b.Tertentu atau dapat ditentukan
c. Dapat ditransaksikan
4.Tujuan Akad:
a. Tidak bertentangan dengan syarak
E. Persamaan dan
perbedaan syarat-syarat kontrak dalam hukum perdata dan hukum islam.
1.
Adanya Kecakapan dalam membuat kontrak
Setiap
orang dan badan hukum (legal entity) adalah subjek hukum, namun
KUHPerdata membatasi subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam kontrak/perjanjian.
Untuk itu kita perlu mengetahui siapa saja yang menurut hukum tidak cakap atau
tidak mempunyai kedudukan hukum untuk membuat perjanjian. Berikut adalah
pihak-pihak yang tidak cakap secara hukum untuk membuat kontrak:
a. Orang yang belum dewasa, yaitu orang yang
belum berumur 21 tahun
b. Orang-orang yang ditaruh dibawah
pengampuan, misalnya: anak-anak, orang yang pikirannya kurang sehat atau
mengalami gangguan mental.
c. Semua pihak yang menurut undang-undang
yang berlaku tidak cakap atau dibatasi kecakapannya untuk membuat perjanjian,
misalnya; istri dalam melakukan perjanjian untuk transaksi-transaksi tertentu
harus mendapatkan persetujuan suami.
Dalam hukum Islam, kecakapan itu dibedakan menjadi dua,
yaitu kecakapan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah al-wujub) dan
kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada’). Dalam konteks pembicaraan ini yang
dimaksud dengan kecakapan adalah kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada’).
Menurut Syamsul Anwar ahliyyah al-ada’ adalah kepatutan seseorang untuk
dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara’, baik yang
berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Dasar dari kepatutan
itu ialah “berakal” dan karenanya kecakapan ini ada yang tidak sempurna dan ada
yang sempurna. Dengan demikian, kandungan pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata
Indonesia selaras dengan prinsip hukum Islam.
2.
Adanya kata sepakat bagi kedua belah pihak
Baik dalam
KUH Perdata maupun Hukum Islam, kesepakatan merupakan faktor esensial yang
menjiwai terbentuknya kontrak/perjanjian, kesepakatan biasanya diekspresikan
dengan kata “setuju” atau ”ijab-kabul” (dalam hukum islam), disertai pembubuhan
tanda tangan sebagai bukti persetujuan atas segala hal yang tercantum dalam kontrak/Perjanjian
(KUHPdt). Dalam KUH Perdata dan Hukum Islam suatu kesepakatan dinyatakan tidak
sah, apabila kesepakatan yang dicapai tersebut terjadi karena kekhilafan atau
dibuat dengan suatu tindakan pemaksaan atau penipuan.
Dalam hukum
Islam, Hasbi As-Shiddiqie dalam Pengantar Fiqh Muamalah, memberikan
pengertian secara luas bahwa kata sepakat / kesepakatan adalah kehendak nyata sebagaimana terungkap
dalam wujud eksternalnya, bukan kehendak
batin yang tersembunyi dalam hati. Kehendak batin tidak dapat
berkedudukan sama dengan perbuatan hukum kongkrit, dan perikatan tidak lahir
dari sekedar bertemunya niat dari para pihak. Hasbi memberikan kaidah yang
populer di kalangan fuqaha’ yang menyatakan: “Tiada dinisbatkan suatu
pernyataan kepada orang yang berdiam diri saja” (Laa yunsabu ila sakitin
qawlun). Karena itu, “berjanji akan menjual belum merupakan akad
penjualan dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya”.
3.
Adanya obyek hukum dalam melaksanakan sebuah kontrak
Hukum Islam
dan KUH Perdata mewajibkan setiap kontrak/perjanjian harus mengenai sesuatu hal
sebagai objek hukum, misalnya tanah sebagai objek perjanjian jual beli. Dalam
hukum Islam, obyek hukum dalam kontrak tidak dijelaskan secara rinci. Hanya
saja obyek hukum dibahasakan dengan obyek akad dan secara teknis dilanjutkan
dengan serah terima akad.
4.
Adanya kausa yang halal
Perjanjian menuntut adanya itikad baik dari para pihak
dalam membuat kontrak/perjanjian, oleh karena itu kontrak/perjanjian yang
disebabkan oleh sesuatu yang tidak halal, misalnya karena paksaaan atau tipu
muslihat tidak memenuhi syarat, baik dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam. Pasal 1320 KUH Perdata Indonesia
menyebut “sesuatu sebab yang halal” sebagai salah satu syarat sahnya perikatan.
Menurut Subekti, kata oorzaak atau causa secara etimologi berarti
“sebab”, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan adalah “tujuan”, yakni apa
yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jadi
yang dimaksud dengan “sebab” adalah isi perjanjian/kontrak, bukan sesuatu yang
mendorong atau motif seseorang untuk membuat kontrak/perjanjian.
Sementara kausa perjanjian menurut hukum Islam ialah tujuan pokok yang
dikehendaki oleh perjanjian untuk dilaksanakan, bukan isi yang dikehendaki oleh
para pihak di balik perjanjiannya. Kausa perjanjian jual beli bukan
terikatnya penjual untuk menyerahkan barangnya setelah pembeli menyerahkan
uangnya, seperti yang selama ini difahami dari hukum Barat, melainkan
pemindahan hak milik dengan imbalan berdasarkan hukum syariat.
Perdata Skema
Syarat-syarat Kontrak dalam hukum dan Hukum Islam
Rukun dan Syarat dlm Hukum Islam
|
Syarat sah dalam KUH Perdata
|
|
|
F. Konsep
Kebebasan dalam berkontrak menurut KUH Perdata dan Hukum Islam
Perspektif Hukum Perdata
Dalam Undang-undang Dasar 1945 dan KUH Perdata Indonesia dan
perundang-undangan lainnya tidak ada ketentuan yang secara tegas menentukan
tentang berlakunya asas kebebasan berkontrak bagi perjanjian-perjanjian yang
dibuat menurut hukum Indonesia. Undang-undang hanya mengatur orang-orang
tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dari ketentuan ini dapat
disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan
untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap.
Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUH Perdata ditentukan bahwa apabila
seseorang membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut
pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak
dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap (voidable).
Menurut
Hukum Perdata setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang
sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Tetapi kebeasan tersebut
dibatasi tiga hal yaitu; tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Pembatasan
terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338
ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan
itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak
hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan
dan dilaksanakan dengan itikad baik, perjanjian yang didasarkan pada itikad
buruk misalnya penipuan. Akibat hukum atas perjanjian tersebut adalah dapat
dibatalkan.
Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum
Islam setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada
nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan
klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya, sesuai dengan kepentingannya
selama tidak berakibat tidak memakan harta sesama dengan jalan batil. Hanya
saja kebebasan membuat akad dalam hukum Islam tidak mutlak, melainkan dibatasi.
Pembatasan tersebut dikaitkan dengan ”larangan makan harta sesama dengan
jalan batil” sebagaimana tertera dalam QS. 4: 29. Kebebasan berakad dalam hukum Islam
didasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut:
1. QS. Al-Maidah [5] : 1
Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali
yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
2. QS. Al-Israa [17]: 34
......dan penuhilah janji; sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
2. Sabda Nabi
Orang-orang Muslim itu
senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka.
3. Kaidah hukum Islam
Pada asasnya akad itu
adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka
tetapkan atas diri mereka melalui janji.
&&&
super sekali .. .
ReplyDelete