perkaya wawasan anda tentang hukum

Wednesday, May 30, 2012

PERIKATAN DALAM HUKUM ISLAM



A. Pengertian kontrak, perjanjian dan perikatan dan perbedaannya.

Kontrak

Secara Umum Kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) antara dua pihak atau lebih yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.
Menurut Daeng Naja pengertian kontrak dapat dipahami dalam arti sempit dan arti luas. Kontrak dalam arti sempit adalah suatau perjanjian tertulis. Dan dalam arti luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefiniskan hubungan antara dua belah pihak atau lebih. Sementara menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) pasal 1233 menjelaskan bahwa kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri.

Perikatan

Dalam hukum perdata Indonesia hukum perikatan diartikan dengan sesuatu hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Prof Subekti perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hal yang mengikat itu maksudnya adalah peristiwa hukum yang dapat menciptakan hubungan hukum bagi kedua belah pihak.
Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum salah satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Jadi lebih jelsanya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan dimana pihak satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Perjanjian

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sementara dalam literatur lain hakekat antara perjanjian dan perikatan pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan

B. Perbedaannya Kontrak, Perjanjian dan Perikatan
1.      Perikatan dibuat secara tertulis
2.      Kontrak umumnya dibuat bisa secara tertulis
3.      Perjanjian bisa tertulis dan bisa lisan
4.      Perikatan lahir dari undang-undang
5.      Perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak karena cakupannya yang luas, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.
6.      Kontrak dan perjanjian lhir dari kesepakatan kedua belah pihak
7.      Istilah perikatan sebagai padanan istilah belanda verbintenis
8.      Istilah perjanjian sebagai padanan istilah belanda overeenkomst

Skema perbedaan Kontrak, Perjanjian dan Perikatan

Kontrak
Perjanjian
Perikatan
Bentuk
Tertulis
Tertulis / tdk tertulis
Tertulis
Sumber / Asal Terjadinya
Kesepakatan para  pihak
Kesepakatan dua orang atau lebih
Dari aturan per-undang-undangan.
Dari Perjanjian
Konsekuensi hukumnya
Memiliki konsekwensi hukum yang mengikat seperti halnya dalam perjanjian
Tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji.
menimbulkan ingkar janji (wanprestasi).
Masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksan-aan prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat.
Perbuatan melawan hukum (PMH).  
Cakupan
Sangat sempit
Sempit
Luas
Hakikat
Digunakan   kusus untuk perikatan bisnis seperti MoU dan LoI
Lebih menitikberatkan pada hasil kesepakatan para pihak
Selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang


C. Konsep Islam tentang Perikatan

Kata “perikatan” dan “perjanjian” memiliki makna yang sama dengan kata ‘aqd dalam bahasa Arab. Menurut Syamsul Anwar konsep perikatan dalam kazanah keislaman merupakan istilah kontemporer, walaupun istilah itu sudah sering dipakai sejak zaman klasik. Dalam hukum Islam pra Modern istilah perikatan secara umum biasa disebut dengan istilah ”iltizam”. Hanya saja istilah ”iltizam” hanya dipakai untuk menunjukan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja. Dan untuk menunjukan perikatan yang timbul dari kehendak kedua belah pihak, ulama menyebutnya dengan istilah ”terisinya dzimmah”, dengan menekankan pada hak dan kewajiban. ”Dzimmah” secara harfiah adalah tanggungan, sedangkan secara terminologis adalah suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan kewajiban.
Dari uraian di atas, ulama mendefinisi perikatan dengan terisinya dzimma  seseorang yang berkaitan dengan hak ataupun kewajiban. Dengan demikian, istilah perikatan (iltizam) dalam hukum islam adalah terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada seseorang atau kepada pihak lain. Mustafa az-Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Syamsul Anwar, mendefinisikan perikatan (iltizam) lebih menitikberatkan pada kewajiban seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain. Definisi di atas memberikan pengertian bahwa hak dan kewajiban yang timbul pada para pihak sebagai objek dalam hukum perikatan islam. Lebih jauh Syamsul Anwar menguraikan tentang pandangan orientasi hukum perikatan, yakni orientasi objektif dan subjektif. Orientasi subjektif lebih menitik beratkan pada hubungan antar subjek perikatan, yaitu debitur dan kreditur. Semangat ini diikuti oleh bangsa-bangsa latin, termasuk kode sipili Napoleon. Gagasan ini muncul dari hukum Romawi kuno. Sementara orientasi objektif lebih melihat pada sisi objek perikatan yang berupa hak dan kewajiban. Pandangan ini dianut oleh hukum negara Jerman. 


D. Syarat kontrak/Perjanjian dalam hukum perdata dan hukum Islam.

Syarat kontrak/Perjanjian dalam hukum perdata dan hukum Islam.


      Dari berbagai literatur yang ada baik dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam, tidak ada perbedaan dalam membahasakan kata kontrak dan perjanjian tentang syarat dan rukun dalam perjanjian/kontrak. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya tentang pengertian kontrak, perjanjian dan perikatan. Dalam pasal 1320 KUH Perdata Indonesia dinyatakan bahwa untuk sahnya perikatan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1.      Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari mereka yang membuat perjanjian  (toestemming);
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid);
3.      Mengenai suatu hal atau obyek tertentu (bepaalde onderwerp);
4.      Adanya sebab (kausa) yang dibenarkan (georloofde oorzak).
Sementara dalam hukum Islam syarat sahnya sebuah perjanjian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Adanya Para Pihak, dan harus tamyiz
a. Tamyiz
b.Berbilang Pihak
2.Pernyataan Kehendak
a. Sesuai Ijab dan Kabul (kata Sepakat)
b.Kesatuan Majelis
3.Obyek Akad:
a. Dapat diserahterimakan
b.Tertentu atau dapat ditentukan
c. Dapat ditransaksikan
4.Tujuan Akad:
a.       Tidak bertentangan dengan syarak


E. Persamaan dan perbedaan syarat-syarat kontrak dalam hukum perdata dan hukum islam.


1.            Adanya Kecakapan dalam membuat kontrak

Setiap orang dan badan hukum (legal entity) adalah subjek hukum, namun KUHPerdata membatasi subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam kontrak/perjanjian. Untuk itu kita perlu mengetahui siapa saja yang menurut hukum tidak cakap atau tidak mempunyai kedudukan hukum untuk membuat perjanjian. Berikut adalah pihak-pihak yang tidak cakap secara hukum untuk membuat kontrak:
a.       Orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum berumur 21 tahun
b.      Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, misalnya: anak-anak, orang yang pikirannya kurang sehat atau mengalami gangguan mental.
c.       Semua pihak yang menurut undang-undang yang berlaku tidak cakap atau dibatasi kecakapannya untuk membuat perjanjian, misalnya; istri dalam melakukan perjanjian untuk transaksi-transaksi tertentu harus mendapatkan persetujuan suami.


Dalam hukum Islam, kecakapan itu dibedakan menjadi dua, yaitu kecakapan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah al-wujub) dan kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada’). Dalam konteks pembicaraan ini yang dimaksud dengan kecakapan adalah kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada’). Menurut Syamsul Anwar ahliyyah al-ada’ adalah kepatutan seseorang untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara’, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Dasar dari kepatutan itu ialah “berakal” dan karenanya kecakapan ini ada yang tidak sempurna dan ada yang sempurna. Dengan demikian, kandungan pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata Indonesia selaras dengan prinsip hukum Islam.

2.            Adanya kata sepakat bagi kedua belah pihak
Baik dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam, kesepakatan merupakan faktor esensial yang menjiwai terbentuknya kontrak/perjanjian, kesepakatan biasanya diekspresikan dengan kata “setuju” atau ”ijab-kabul” (dalam hukum islam), disertai pembubuhan tanda tangan sebagai bukti persetujuan atas segala hal yang tercantum dalam kontrak/Perjanjian (KUHPdt). Dalam KUH Perdata dan Hukum Islam suatu kesepakatan dinyatakan tidak sah, apabila kesepakatan yang dicapai tersebut terjadi karena kekhilafan atau dibuat dengan suatu tindakan pemaksaan atau penipuan.
Dalam hukum Islam, Hasbi As-Shiddiqie dalam Pengantar Fiqh Muamalah, memberikan pengertian secara luas bahwa kata sepakat / kesepakatan adalah kehendak nyata sebagaimana terungkap dalam wujud eksternalnya, bukan kehendak batin yang tersembunyi dalam hati. Kehendak batin tidak dapat berkedudukan sama dengan perbuatan hukum kongkrit, dan perikatan tidak lahir dari sekedar bertemunya niat dari para pihak. Hasbi memberikan kaidah yang populer di kalangan fuqaha’ yang menyatakan: “Tiada dinisbatkan suatu pernyataan kepada orang yang berdiam diri saja” (Laa yunsabu ila sakitin qawlun). Karena itu, “berjanji akan menjual belum merupakan akad penjualan dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya”.

3.            Adanya obyek hukum dalam melaksanakan sebuah kontrak
Hukum Islam dan KUH Perdata mewajibkan setiap kontrak/perjanjian harus mengenai sesuatu hal sebagai objek hukum, misalnya tanah sebagai objek perjanjian jual beli. Dalam hukum Islam, obyek hukum dalam kontrak tidak dijelaskan secara rinci. Hanya saja obyek hukum dibahasakan dengan obyek akad dan secara teknis dilanjutkan dengan serah terima akad.

4.            Adanya kausa yang halal
Perjanjian menuntut adanya itikad baik dari para pihak dalam membuat kontrak/perjanjian, oleh karena itu kontrak/perjanjian yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak halal, misalnya karena paksaaan atau tipu muslihat tidak memenuhi syarat, baik dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam. Pasal 1320 KUH Perdata Indonesia menyebut “sesuatu sebab yang halal” sebagai salah satu syarat sahnya perikatan. Menurut Subekti, kata oorzaak atau causa secara etimologi berarti “sebab”, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan adalah “tujuan”, yakni apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jadi yang dimaksud dengan “sebab” adalah isi perjanjian/kontrak, bukan sesuatu yang mendorong atau motif seseorang untuk membuat kontrak/perjanjian.
Sementara kausa perjanjian menurut hukum Islam ialah tujuan pokok yang dikehendaki oleh perjanjian untuk dilaksanakan, bukan isi yang dikehendaki oleh para pihak di balik perjanjiannya. Kausa perjanjian jual beli bukan terikatnya penjual untuk menyerahkan barangnya setelah pembeli menyerahkan uangnya, seperti yang selama ini difahami dari hukum Barat, melainkan pemindahan hak milik dengan imbalan berdasarkan hukum syariat.

Perdata Skema Syarat-syarat Kontrak dalam hukum dan Hukum Islam

Rukun dan Syarat dlm Hukum Islam
Syarat sah dalam KUH Perdata
  1. Para Pihak:
    1. Tamyiz
    2. Berbilang Pihak
  2. Pernyataan Kehendak
    1. Sesuai Ijab dan Kabul (kata Sepakat)
    2. Kesatuan Majelis
  3. Obyek Akad:
    1. Dapat diserahkan
    2. Tertentu atau dapat ditentukan
    3. Dapat ditransaksikan
  4. Tujuan Akad:
  5. Tidak bertentangan dengan syarak



  1. Kecakapan


  1. Kata sepakat

  1. Obyek perjanjian




  1. Kausa yang halal









F. Konsep Kebebasan dalam berkontrak menurut KUH Perdata dan Hukum Islam

Perspektif Hukum Perdata

Dalam Undang-undang Dasar 1945 dan KUH Perdata Indonesia dan perundang-undangan lainnya tidak ada ketentuan yang secara tegas menentukan tentang berlakunya asas kebebasan berkontrak bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut hukum Indonesia. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak  yang ia inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUH Perdata ditentukan bahwa apabila seseorang membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap (voidable).
Menurut Hukum Perdata setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Tetapi kebeasan tersebut dibatasi tiga hal yaitu; tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik, perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan. Akibat hukum atas perjanjian tersebut adalah dapat dibatalkan.


Perspektif Hukum Islam

Dalam hukum Islam setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya, sesuai dengan kepentingannya selama tidak berakibat tidak memakan harta sesama dengan jalan batil. Hanya saja kebebasan membuat akad dalam hukum Islam tidak mutlak, melainkan dibatasi. Pembatasan tersebut dikaitkan dengan ”larangan makan harta sesama dengan jalan batil” sebagaimana tertera dalam QS. 4: 29.  Kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut:
1. QS. Al-Maidah [5] : 1
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
2. QS. Al-Israa [17]: 34
 ......dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
2. Sabda Nabi
Orang-orang Muslim itu senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka.
3. Kaidah hukum Islam
Pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji.

&&&


                                   

1 comment: