BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Korupsi berasal dari
bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak
pidana korupsi secara garis besar mencakupunsur-unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum;
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa
jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan
dalam jabatan;
• pemerasan
dalam jabatan;
• ikut serta
dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima
gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi
atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan
korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana
pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang
politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau
tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Perkembangan peradaban dunia semakin
sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa
perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu
pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan
bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam.
Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut
mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara
lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia
bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime),
tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan
tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang
menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah
ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang
dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak
Indonesia belum merdeka.
Salah satu bukti yang menunjukkan
bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu
dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada
penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua,
muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang
berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat
berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung
memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron
seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi,
alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin
penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah
korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)
Di Indonesia sendiri praktik korupsi
sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi
yang terekspos ke permukaan.
Di negeri ini sendiri, korupsi sudah
seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik,
menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan
yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir
kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah
ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4
(empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang korupsi, yakni :
1.
Undang-undang nomor 24 Tahun
1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang
undang pemberantasan tindak
pidana korupsi.
B.
Rumusan
masalah
Adapun yang menjadi permasalahan
dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana Pertanggung Jawaban Pidana Pada
Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
2.
Bagaimana Penjatuhan Pidana
Pada Perkara Tindak Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pertanggung jawaban Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
2.
Untuk mengetahui Bagaimana Penjatuhan
Pidana Pada Perkara Tindak Pidana
Korupsi Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999
D.
Kegunaan
Penulisan
1.
Memberikan pemahaman tentang pertanggung jawaban pidana pada perkara
tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
2.
Memberikan jenis-jenis
Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut
“korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak)
gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan
terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia
dari korupsi dapat berupa :
1.
Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
3. 1. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
3. 1. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
2.
Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya);
3.
Koruptor (orang yang korupsi).
Baharuddin Lopa mengutip pendapat
dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang,
yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di
bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti,
S.H., 2005:9)
Berdasarkan undang-undang bahwa
korupsi diartikan:
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2.
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara
atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3.
Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210,
387,
388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
B. Korupsi di
Indonesia
Korupsi di
Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan
suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh
penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi
paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan
korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia
belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan
korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya
kasus-kasus korupsi di Indonesia.
• Pemberantasan korupsi
di Indonesia
Pemberantasan
korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama,
Orde Baru, dan Orde Reformasi.
1.
Orde Lama
Dasar Hukum:
KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
Mochtar Lubis
dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai
lawan politik Sukarno. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di
Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di
Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan
perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer
justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.
Jenderal
Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang
berhasil.
Pertamina
adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.
Kolonel
Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus
korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo
dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro
diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu
dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad
di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi
ketua Senat Seskoad.
2. Orde Baru
2. Orde Baru
Dasar Hukum: UU
3 tahun 1971
Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis
strategis.
3. Reformasi
3. Reformasi
Dasar Hukum: UU
31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)
C. Komisi
Pemberantasan Korupsi
Komisi
Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia
yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas
korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Ketua KPK adalah Antasari Azhar (Non Aktif),Saat ini KPK
dipimpin secara kolektif.
Era Kepemimpinan KPK :
Era Kepemimpinan KPK :
1.
KPK di bawah
Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency
Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan
publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi
Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia
pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International
Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden,
adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD
(10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga
pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di
Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka
Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah
integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu
"corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by
greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by
opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga
menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui
proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai
teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat
dan organisasi bisnis. Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari
Azhar sebagai Ketua KPK.
2.
KPK di bawah
Antasari Azhar (2007-2009)
Dimasa kepemimpinan Antasari Azhar telah banyak kasus-kasus
besar korupsi terungkap terbukti banyak para pejabat pemerintah yang
dipenjarakan karena kasus korupsi, hal ini terjadi karena kerjasama yang erat
antara lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia. Namun perjalanan panjang pemberantasan
korupsi kepemimpinan Antasari Azhar terhambat akibat sejumlah sekenario
pelemahan KPK yang membuat Antasari Azhar di non aktifkan dari jabatannya.
3.
Tumpak Hatorangan
Panggabean (Plt Ketua)
Mantan Pimpinan KPK Jilid I periode 2003-2007 ini Lahir di
Sanggau, Kalimantan Barat, pada 29 Juli 1943, dan menamatkan pendidikan di
bidang hukum pada Universitas Tanjungpura Pontianak. Seusai menamatkan bangku
kuliah, bapak tiga anak ini memilih langsung untuk mengabdi kepada negara
dengan berkarier di Kejaksaan Agung pada1973. Karier di kejaksaan meliputi
Kajari Pangkalan Bun (1991-1993), Asintel Kejati Sulteng (1993-1994), Kajari
Dili (1994-1995), Kasubdit Pengamanan Ideologi dan Politik Pada JAM Intelijen
(1996-1997), Asintel Kejati DKI Jakarta (1997-1998), Wakajati Maluku
(1998-1999), Kajati Maluku (1999-2000), Kajati Sulawesi Selatan (2000-2001),
dan SESJAMPIDSUS (2001–2003).
Sosok pekerja keras ini pernah mendapatkan penghargaan Satya
Lencana Karua Satya XX Tahun 1997 dan Satya Lencana Karya Satya XXX 2003,
kemudian diusulkan oleh Jaksa Agung RI untuk bertugas di Komisi Pemberantasan
Korupsi pada tahun 2003.
Setelah memimpin KPK periode pertama, pada 2008 Tumpak diangkat
sebagai Anggota Dewan Komisaris PT Pos Indonesia (Pesero) berdasarkan Keputusan
Meneg BUMN, sebelumnya akhirnya dipilih oleh presiden untuk menduduki posisi
pejabat sementara (Plt) pimpinan KPK bersama Waluyo dan Mas Achmad Santosa.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Pertanggung Jawaban Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban
pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1.
Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.
Pegawai Negeri adalah meliputi :
a.
Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
B.
Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan ketentuan
undang-undang nomor 31 Tahun 1999
Berdasarkan ketentuan undang-undang
nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan
pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah
sebagai berikut.
Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1) Pidana Mati
Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1) Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2) Pidana Penjara
1.
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
3.
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi. (Pasal 21)
4.
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal
36.
3) Pidana Tambahan
1.
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
4) Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
4) Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat
dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3
(sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat
(1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2.
Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
3.
Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan
kepada orang lain.
4.
Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke
siding pengadilan.
5.
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah
1.
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
2.
Perbuatan melawan hukum;
3.
Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
4.
Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena
jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau
orang lain.
BAB
IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian pengertian dan penyebab
korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi
sangat luas dan mengakar. Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai berikut:
1.
Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah;
2.
Berkurannya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat;
3.
Menyusutnya pendapatan Negara;
4.
Rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara;
5. Perusakan mental
pribadi;
6. Hukum tidak lagi
dihormati.
B.
SARAN
Adapun
yang menjadi saran penulis dalam penyusunan makalah ini yakni korupsi adalah
masalah besar di negeri ini yang harus di perangi bersama-sama guna mencapai
kehidupan yang jujur dan bersih. Karena dengan prilaku jujur dari masyarakat
ataupun pemerintah akan membawa negeri ini jauh lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Hartanti, Evi, S.H.,
2005. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika : Jakarta
Marpaung, Leden,
S.H., 1992. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan
Pemecahannya Bagian kedua.
Sinar Grafika : Jakarta
Simanjuntak, B, S.H.,
1981. Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial. Tarsino : Bandung
Kitab Undang-undang
Hukum Pidana
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................ 4
C. Tujuan
penulisan................................................................................... 5
D. Kegunaan
penulisan............................................................................ 5
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Korupsi................................................................................ 6
B. Korupsi di Indonesia............................................................................. 7
C. Komisi Pemberantasan Korupsi.......................................................... 10
BAB
III PEMBAHASAN
A. Pertanggung
Jawaban Pidana Pada Perkara ................................. 14
Tindak
Pidana Korupsi Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
B. Penjatuhan
Pidana Pada Perkara Tindak Pidana .......................... 15
Pada
Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
ketentuan
undang-undang nomor 31 Tahun 1999
BAB
IV PENUTUP
A. KESIMPULAN........................................................................................ 20
B. SARAN.................................................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................... 21
No comments:
Post a Comment