perkaya wawasan anda tentang hukum

Friday, June 1, 2012

Legalkan Kekejaman, Israel Rubah Hukum Internasional

GAZA (Berita SuaraMedia) - Serangan Israel terhadap Gaza pada bulan Desember 2008 hingga Januari 2009 bukan hanya sekedar serangan militer terhadap penduduk sipil, kaum miskin, dan korban pendudukan dan blokade selama 42 tahun terakhir. Serangan itu juga merupakan bagian dari pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional oleh sebuah tim Israel terkoordinasi tinggi yang terdiri atas para pengacara, pejabat militer, orang-orang humas dan politisi, yang dipimpin oleh seorang filsuf etika. Ini juga merupakan sebuah upaya terkoordinasi dengan pemerintah lain yang para pemimpin politik dan militernya sedang mencari cara untuk melakukan perang asimetris melawan orang-orang yang menentang dominasi dan penjarahan terhadap sumber daya dan tenaga kerja mereka tanpa halangan HAM dan hukum internasional saat ini. Ini merupakan sebuah operasi militer yang sedang berkembang dan sebaiknya ditanggapi serius oleh komunitas internasional.


Sejak Ariel Sharon didakwa oleh pengadilan Belgia tahun 2001 atas keterlibatannya dalam pembantaian di Sabra dan Chatila dan Israel menghadapi tuduhan kejahatan perang menyusul invasinya di tahun 2002 terhadap kota-kota di Tepi Barat, dengan jumlah korban sipil yang sangat tinggi (500 orang tewas. 1.500 terluka, dan lebih dari 4.000 ditahan), ratusan rumah dan infrastruktur perkotaan hancur, Israel telah mengadopsi sebuah strategi yang agresif dan berani: mengganti hukum internasional sehingga aktor-aktor non-negara terjebak dalam konflik dengan negara dan dianggap oleh negara sebagai aktor "non-legitimate" (teroris, pemberontak, dan aktor-aktor non-negara serta penduduk sipil yang mendukung mereka) yang tidak lagi dapat mengklaim perlindungan dari serangan militer. Urgensi dari operasi militer ini telah ditekankan oleh serangkaian kemunduran yang Israel keluarkan susul-menyusul di tangan PBB.

Pada tahun 2004, atas permintaan Majelis Umum, Mahkamah Internasional di The Hague memutuskan bahwa pembangunan tembok Israel di dalam wilayah Palestina bertentangan dengan hukum internasional dan harus dibongkar – sebuah keputusan yang diadopsi hampir secara bulat oleh Majelis Umum, dengan hanya Israel, AS, Australia, dan beberapa negara Pasifik yang menolak. Di tahun 2006, Komisi Penyelidikan PBB menyimpulkan bahwa sebuah pola penggunaan kekuatan yang berlebihan, diskriminatif, dan tidak proporsional oleh IDF (militer Israel) terhadap warga sipil dan obyek sipil Libanon, gagal membedakan warga sipil dari kombatan dan obyek sipil dari target militer, bersama dengan kritik keras dari laporan Goldstone tentang Gaza yang menuduh pemerintah dan militer Israel menarget warga sipil Israel dan menyebabkan kehancuran yang tidak proporsional, telah menjadikan operasi tersebut semakin urgen.

Sayangnya, ini adalah sebuah perjuangan yang berat. Dorongan dari teori "perang yang adil", dari mana ditarik hukum humaniter internasional, adalah untuk membatasi perang, terutama untuk meregulasi pelaksanaan dan lingkupnya. Perang antar negara tidak seharusnya menjadi perang total antar bangsa atau rakyat. Apapun yang terjadi antara kedua militer yang terlibat, siapa pun yang menang atau kalah, bagaimanapun karakter pertempuran atau jumlah korban sipil yang jatuh, kedua bangsa, kedua rakyat, harus harus berfungsi sebagai masyarakat pada akhir perang. Perang yang terjadi tidak boleh menjadi perang pemusnahan atau pembersihan etnis. Dan apa yang benar bagi negara juga benar bagi badan-badan politik mirip negara seperti Hamas dan Hizbullah, terlepas dari apakah mereka mempraktikkan terorisme atau tidak. Orang-orang yang mereka wakili atau mereka klaim wakili adalah orang-orang seperti lainnya. (Margalit and Walzer 2009).

Melindungi nyawa, properti, dan hak asasi warga sipil dari kekuasaan dan impunitas negara adalah hal yang terutama relevan pada masa kini ketika Jenderal Inggris, Rupert Smith mengatakan di tahun 2005 bahwa perang modern semakin cepat bergerak menjauh dari model perang antar-negara tradisional menuju apa yang ia sebut paradigma baru, perang di antara rakyat, di mana "Kita bertempur di antara masyarakat, bukan di medan tempur." Sebuah istilah yang lebih populer digunakan oleh militer yaitu perang asimetris, mungkin lebih jujur dan mengungkapkan, karena istilah itu menekankan perbedaan besar kekuatan yang ada antara negara-negara yang berperang dan militernya dan kelemahan kekuatan-kekuatan non-negara yang melawan mereka.

Kini isu tentang penerapan pendekatan etis dan hukum keluar dari perang tradisional antar-negara ke bentuk baru perang asimetris adalah usaha yang penting dan legitimate. Seperti yang diindikasikan oleh Hakim Goldstone dalam laporan Misi Pencarian fakta PBB tentang Konflik Gaza. "Misi itu menginterpretasikan mandatnya untuk memfokuskan kekhawatirannya pada penduduk sipil di wilayah tersebut terkait pelanggaran hukum internasional." Dua isu kekhawatiran utama muncul di sini: melindungi semua non-kombatan yang terjebak dalam konflik bersenjata, baik itu dari musuh negara maupun non-negara, dan sejauh mana aktor-aktor non-negara harus bertanggung jawab di bawah IHL. Karena itu, laporan Goldstone, mengakui keterbatasan operasi aktor non-negara, juga menspesifikasi kewajiban kelompok-kelompok bersenjata Palestina untuk untuk melakukan perawatan dan mengambil tindakan pengamanan yang layak untuk melindungi penduduk sipil di Gaza dari bahaya yang melekat pada operasi militer.

Israel berusaha untuk mengganti hukum internasional dalam cara-cara yang memungkinkan mereka, dan negara-negara lain yang terlibat dalam perang melawan teror, untuk secara aktif melaksanakan perang di antara rakyat sembari menghilangkan legitimasi dan perlindungan yang dimiliki oleh musuh non-negara mereka.

Operasi militer ini dipimpin oleh dua figur Israel: Asa Kasher, seorang profesor filsafat dan etika praktis di Universitas Tel Aviv, penulis buku Code of Conduct militer Israel, dan Mayor Jenderal Amos Yadlin, mantan kepala Sekolah Pertahanan Nasional IDF dan kini kepala Intelijen Militer. (rin/pg)
www.suaramedia.com

Program BPJS Kesehatan Bisa Bebas Iuran


Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS Arif Minardi meyakini pelaksanaan pelayanan kesehatan yang akan diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada tahun 2014 nanti dapat dilaksanakan secara gratis. Artinya rakyat tak perlu membayar iuran untuk mendapat fasilitas BPJS Kesehatan.

Berdasarkan hitung-hitungan mantan ketua serikat pekerja PT Dirgantara Indonesia itu, BPJS Kesehatan membutuhkan dana sekitar Rp30 triliun tiap tahun. Dana sebesar itu, menurut Arif, dapat dipenuhi oleh pemerintah setiap tahunnya, sehingga masyarakat tidak perlu lagi membayar iuran program jaminan kesehatan.

Untuk dana awal, lanjut Arif, BPJS Kesehatan bisa mendapat suntikan modal dari aset PT Askes yang saat ini mencapai Rp70 triliun. PT Askes adalah salah satu perusahaan yang akan melebur dalam BPJS Kesehatan.

Untuk menjaga agar program jaminan kesehatan ini tetap gratis, masih menurut Arif, maka pada tahun-tahun berikutnya jumlah anggaran yang digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan itu dapat dikurangi. Misalnya pemerintah menganggarkan Rp10 triliun/tahun.

Dari perhitungannya, Arif berkeyakinan kalau pemerintah mampu membiayai kebutuhan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia. Arif mengingatkan dalam institusi asuransi, tidak semua uang yang ada dikeluarkan untuk membiayai peserta yang sakit. Menurutnya, tidak mungkin seluruh peserta asuransi jatuh sakit dalam kurun waktu bersamaan.

Sayangnya, Arif melihat pemerintah tidak serius menggarap itu. “Sebenarnya itu bisa dilakukan,” kata dia kepada hukumonline di gedung DPR Jakarta, Kamis (31/5).

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar Komisi IX DPR pada hari ini, Kamis (31/5), Sekjen Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Ratna Rosita, mengatakan terdapat iuran yang harus dibayar dalam program jaminan kesehatan. Pada tahun 2012 dan 2013 besaran iuran diperkirakan berkisar Rp6500 ribu/orang. Namun pada tahun 2014, dimana BPJS Kesehatan mulai beroperasi, besaran iuran berkisar Rp 19 Ribu/orang.

Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menebak pemerintah akan keberatan menanggung secara penuh iuran program jaminan kesehatan. Sebagai jalan tengah, Timboel mengusulkan agar jumlah pekerja sektor formal yang jumlahnya mencapai 40 juta orang biaya iurannya ditanggung oleh pengusaha.

Sedangkan untuk pekerja informal berpenghasilan rendah dan masyarakat miskin iurannya ditanggung pemerintah. Dengan begitu Timboel menghitung iuran yang akan ditanggung pemerintah nanti sebesar Rp54 Triliun. Jumlah itu menurut Timboel lebih kecil ketimbang amanat UU Kesehatan yang menganjurkan pemerintah mengalokasikan lima persen dari APBN untuk biaya kesehatan rakyat.

“APBN tahun ini Rp1400 triliun, kalau lima persennya berarti Rp70 triliun,” kata Timboel kepada hukumonline, Kamis (31/5).

Kekurangan Fasilitas
Pada kesempatan RDPU tersebut Kemenkes menyatakan butuh 100 ribu unit tempat tidur untuk menunjang pelayanan kesehatan oleh BPJS Kesehatan pada 2014 nanti. Untuk mencapai kebutuhan tersebut Kemenkes mulai menargetkan sebanyak 40 ribu unit tempat tidur di tahun ini. Sayangnya, target itu belum dapat terpenuhi karena kemenkes sampai saat ini baru mampu memenuhi sebanyak 10,12 ribu unit tempat tidur.

“Masih kurang 29,87 ribu (tempat tidur,-red),” kata Sekjen Kemenkes, Ratna Rosita. Kekurangan ini menurutnya dapat dipenuhi lewat alokasi anggaran non APBN.

Anggota Komisi IX DPR, Zuber Safawi, mengatakan persoalan yang dihadapi Kemenkes dalam memenuhi fasilitas kesehatan meredupkan optimismenya dalam keberhasilan pelaksanaan BPJS Kesehatan.

Menurutnya, Komisi IX DPR perlu melakukan upaya mendorong Menteri Keuangan untuk membantu Kemenkes meningkatkan fasilitas kesehatan. “Saya rasa ini menjadi bahan penting kita (Komisi IX,-red) nanti untuk bertemu dengan Menteri Keuangan,” kata Zuber.

makalah sertifikasi tanah


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan pesat yang terjadi dalam pembangunan di Indonesia tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan hubungannya akan kepastian pendaftaran tanah. Karena tanah jelas menjadi aspek utama dan penting dalam pembangunan, dimana seluruh kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat memerlukan tanah untuk melakukan kegiatan tersebut. Untuk tercapainya kepastian pendaftaran tanah tersebut maka Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (selanjutnya akan disebut sebagai PP 10/1961) yang telah berlaku sejak tahun 1961 dipandang memiliki substansi yang sudah tidak dapat lagi memenuhi tuntutan zaman untuk memberikan kepastian atas pendaftaran tanah tersebut.
Oleh karenanya pada tanggal 8 Juli 1997 pemerintah menetapkan dan mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya akan disebut sebagai PP 24/1997) untuk menggantikan PP 10/1961 tersebut. PP ini berlaku tiga bulan sejak tanggal diundangkannya (Pasal 66) yang berarti secara resmi mulai berlaku diseluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober 1997 dengan Peraturan Pelaksananya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya akan disebut sebagai PerMen 3/1997). Sementara semua peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana dari PP 10/1961 yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan            PP 24/1997 ini ( Pasal 64 ayat (1) ).
PP 24/1997 yang menggantikan PP 10/1961 ini merupakan peraturan pelaksana dari amanat yang ditetapkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya akan disebut UUPA) yang mengatur:”Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Proses dan prosedur Pendaftaran tanah menurut PP 24/1997 inilah yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian latar belakang,maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Proses dan Prosedur Pendaftaran Tanah
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
  1. Untuk memenuhi tugas makalah Hukum Agraria
    1. Melatih mahasiswa agar terbiasa menyusun makalah dalam memenuhi   tugas.
    2. Agar mahasiswa mempunyai tanggung jawab dalam memenuhi segala tugas-tugasnya.
    3. Agar mahasiswa dapat mengimplementasikan teori konsep Hukum Agraria dalam kehidupan bermasyarakat.













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Persamaan dan perbedaan substansi antara PP 24/1997 dengan PP 10/1961.
PP 24/1997 masih mempertahankan sejumlah substansi yang diatur dalam
PP 10/1961 yaitu sebagai berikut :
1. Tujuan dan sistem Pendaftaran tanah
2. Cara pendaftaran tanah
Peyempurnaan yang dilakukan pada dasarnya adalah mengenai penegasan tentang hal-hal berikut yang terdapat pada PP 24/1997:
1. Pengertian Pendaftaran Tanah
2. Asas-asas, tujuan serta sistem penyelenggaraan pendaftaran tanah
3. Penegasan, penyederhanaan, serta penyingkatan tata cara pendaftaran tanah
4. Penggunaan teknologi modern dalam pengukuran dan pemetaan
5. Pembukuan bidang tanah yang data fisik atau data yuridisnya masih disengketakan
6. Adanya kekuatan pembuktian lewat sertifikat
7. Peran dan tanggung jawab Pejabat Pembuat akta Tanah (PPAT)
B. Pengertian pendaftaran tanah
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah.
Dalam pasal 1 angka 1 PP No.24 tahun 1997 disebutkan bahwa pendaftaran tanah adalah  rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Yang dimaksud rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah pendaftaran dalam bidang data fisik yakni mengenai tanahnya itu sendiri seperti lokasinya, batas-batasnya, luas bangunan atau benda lain yang ada diatasnya. Berikutnya adalah data yuridis mengenai haknya yakni haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak adanya hak pihak lain. Sementara terus-menerus artinya Setiap ada pengurangan, perubahan, atau penambahan maka harus dilakukan pendaftaran ulang, yang akan membuat sertifikat tersebut mengalami perubahan, misalnya perubahan tipe rumah.

C. Landasan HukumPendaftaran Tanah
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2). Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4). Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
Pasal 23 UUPA :
Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 32 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam :
Pasal 19 UUPA
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 38 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.
Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
D. Obyek pendaftaran tanah
Obyek pendaftaran tanah diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP 24/1997 sebagai berikut:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai
b. Tanah hak pengelolaan
c. Tanah wakaf
d.Hak milik atas satuan rumah susun
e. Hak tanggungan
f. Tanah negara
E. Asas-asas pendaftaran tanah
Asas yang dianut untuk Pendaftaran tanah diatur berdasarkan Pasal 2 PP 24/1997 yakni sebagai berikut:
1. Sederhana
Maksudnya adalah substansinya mudah dibaca atau dipahami oleh semua lapisan warga negara Indonesia dan juga prosedurnya tidak perlu melewati birokrasi yang berbelit-belit hanya perlu melewati seksi pendaftaran tanah saja.
2.Aman
Keamanan disini berarti akan memberikan rasa aman bagi pemegang sertifikat apabila mereka telah melakukan prosedur pendaftaran tanah dengan teliti dan cermat.
3.Terjangkau
Berkaitan dengan kemampuan finansial seseorang untuk membayar biaya, khususnya harus memperhatikan agar tidak memberatkan pihak-pihak yang ekonominya lemah. Intinya agar jangan sampai pihak ekonomi lemah tidak melakukan pendaftaran tanah hanya karena masalah tidak mampu membayar.
4. Mutakhir
Setiap data yang berkaitan dengan pendaftaran tanah haruslah data yang terbaru, yang menunjukan keadaan riil pada saat yang sekarang. Setiap ada perubahan fisik atau benda-benda diatasnya atau hal yuridis atas tanah harus ada datanya (selalu ada pembaharuan data).
5. Terbuka
Dokumen-dokumen atau data-data baik fisik atau yuridis bersifat terbuka dan boleh diketahui oleh masyarakat. Asas ini bertujuan agar bila ada hal-hal yang menyimpang atau disembunyikan dapat diketahui.
F. Tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah
Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut.
Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. (A.P. Parlindungan; 1990 : 6).
a. Kepastian hak seseorang
Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak lainnya.
b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas – batasnya.
c. Penetapan suatu perpajakan
Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan
Dalam ketentuan Pasal 3 PP 24/1997 dinyatakan dengan tegas bahwa pendaftaran tanah mempunyai tiga tujuan, yaitu:
1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Kepastian hukum ini diberikan dalam bentuk sertifikat kepada pemegang hak tersebut, dimana sertifikat ini bukan sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak bagi pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh undang-undang. Hal ini merupakan pengejawantahan langsung dan tujuan utama dari ketentuan Pasal 19 UUPA.
  1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
  2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
    • pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
    • pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah tersebut.
    • pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
  3. Pendaftaran tanah di selenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat. Keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan panyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
  4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah    agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bdang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
Hal ini khususnya berguna bagi calon pembeli yang perlu mengetahui data yang tersimpan mengenai obyek yang akan mereka beli sehingga terjadi transparansi.
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Didalam kenyataannya tingkatan-tingkatan dari pendaftaran tanah tersebut terdiri dari :
a. Pengukuran Desa demi Desa sebagai suatu himpunan yang terkecil.
b. Dari peta Desa demi Desa itu akan memperlihatkan bermacam-macam hak  atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan maupun tanah-tanah yang masih dikuasai oleh negara.
c.    Dari peta-peta tersebut akan dapat juga diketahui nomor pendaftaran, nomor buku tanah, nomor surat ukur, nomor pajak, tanda batas dan juga bangunan yang ada di dalamnya.
G. Sistem pendaftaran tanah
Kegiatan Pendaftaran Tanah di Indonesia sejak penjajahan Belanda telah ada khususnya untuk mengelola hak-hak barat dan pada zaman awal kemerdekaan pendaftaran tanah di Indonesia berada di Departemen Kehakiman yang bertujuan untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah yang meliputi :
1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik  Indonesia
2. Pembukuan hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak atas tanah tersebut.
Melihat bentuk kegiatan pendaftaran tanah seperti diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa sistem pendaftran tanah pada saat itu adalah sistem pendaftaran akte (regristration of deeds) dimana Jawatan Pendaftaran Tanah pada saat itu hanya bertugas dan berkewenangan membukukan hak-hak tanah dan mencatat akte peralihan / pemindahan hak, tidak menerbitkan surat tanda bukti hak yang berupa sertifikat tanah. Alat bukti kepemilikan tanah pada saat itu berupa akte (akte eigendom dll).
Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem pendaftaran tanah berubah menjadi sistem pendaftaran hak (registration of title) dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:
1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
2) Pendaftaran tanah meliputi:
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b.Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
Perbedaan kewenangan dalam sistem pendaftaran tanah seperti diuraikan di atas jelas tertuang dalam ketentuan angka 2 b dan c dimana pendaftaran tanah melakukan pendaftaran hak termasuk peralihan dan pembebanannya serta pemberian surat-surat tanda bukti termasuk sertifikat tanah sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dalam sistem ini setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian juga harus dibuktikan dengan suatu akta (pendaftaran terus-menerus). Tetapi dalam penyelenggaraan pendaftarannya, bukan akta tersebut yang didaftar melainkan haknya tersebutlah yang didaftarkan, sementara akta hanya merupakan bukti dan sumber datanya. Selain itu juga terdapat buku tanah sebagai dokumen yang memuat data fisik dan data yuridis yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.
H. Sistem publikasi pendaftaran tanah
Pada garis besarnya dikenal dua sistem publikasi yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka harus ada buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis, selain itu juga ada sertififkat hak sebagai surat tanda bukti hak.
Sistem publikasi negatif bukan pendaftarannya yang diperhatikan, tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli, dimana pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak menjadi pemegang haknya yang baru.
Sistem publikasi yang digunakan dalam PP 24/1997 adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan PP 24/ 1997 Pasal 32 ayat (1) dan Penjelasannya. Dalam Pasal 32 ayat (1) disebutkan mengenai sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat yang berarti merupakan sistem publikasi positif karena melihat pada pendaftaran sebagai bukti hak.
Sementara dalam Penjelasan Pasal 32 disebutkan sertifikat tersebut sebagai tanda bukti yang kuat dalam arti bila tidak dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga hak dari sertifikat tersebut menjadi tidak mutlak, bila dapat dibuktikan bahwa sertifikat tersebut didapatkan dengan melakukan perbuatan hukum yang tidak sah dalam jangka waktu 5 tahun. Disinilah unsur sistem publikasi negatif tersebut ada.
BAB III
PEMBAHASAN
Penyelenggara dan Pelaksana Pendaftaran Tanah
Ada 4 organ yang berperan dalam urusan sebagai penyelenggara dan pelaksana pendaftaran tanah ini yakni sebagai berikut:
1. Badan Pertanahan Nasional
Sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA dan Pasal 5 PP 24/1997 yakni bertindak sebagai
penyelenggara pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut
2. Kepala Kantor Pertanahan
Sesuai ketentuan Pasal 6 PP 24/1997 Dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana Pendaftaran Tanah kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain, yaitu kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan.
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pengertian PPAT diatur dalam ketentuan Pasal 1 Angka 24 PP 24/1997. Kegiatan PPAT adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan kegiatan dibidang pendaftaran tanah, khususnya dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran
4. Panitia Ajudikasi
Tugas dari Panitia Ajudikasi adalah melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik untuk membantu tugas Kepala Kantor Pertanahan seperti diatur dalam Pasal 8 PP 24/1997. Pengertian dari Ajudikasi ini sendiri diatur dalam Pasal 1 Angka 8 PP 24/1997.
  1. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.
1. Kegiatan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali
Dalam pasal 13 PP 24/1997 ditentukan :
(1) Pendafataran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadic.
(2) Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(3) Dalam suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2), pendaftaranya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadic.
(4) Pendaftaran tanah secara sporadic dilaksanakan atas permintaaan pihak yang berkepentingan.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah :
a. pengumpulan dan pengolahan data fisik, yang meliputi pengukuran dan pemetaaan; pembuatan peta dasar pendaftaran; penetapan batas bidang-bidang tanah; pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran; pembuatan daftar tanah, dan pembuatan surat ukur.
b. pembuktian hak dan pembukuannya, yang meliputi pembuktian hak baru; pembuktian hak lama; pembukuan hak.
c. penerbitan sertifikat
d.penyajian data fisik dan yuridis
e. penyimpanan daftar umum dan dokumen
2. Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Dalam pasal 36 PP 24/2007 ditentukan bahwa:
(1) Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan  pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar
(2) Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan
Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah ini dilakukan terhadap tanah-tanah yang sebelumnya sudah terdaftar. Pendaftaran ini harus dilakukan ketika pihak yang memiliki tanah tesebut ingin memindahkan haknya melalui jual beli, tukar menukar, hibah, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Kegiatan pemeliharaan data pendafataran tanah meliputi :
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak
b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya
Dalam penjelasan UUPA dikatakan bahwa pendaftaran tanah akan diselenggarakan secara sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan. Ketentuan ini perlu mendapat perhatian Pemerintah untuk melaksanakan pembenahan dan perbaikan di bidang pendaftaran tanah terutama hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan tanah-tanah adat dimana pendaftaran tanah masih menggunakan alat bukti pembayaran pajak masa lalu seperti girik dan petuk sebagai alas hak sedangkan administrasi girik dan petuk tersebut secara prinsip sudah tidak ada.
Dalam penjelasan UUPA angka IV dikatakan bahwa usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah yaitu: Pasal 23, 32 dan 38 yang ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan dengan maksud agar mereka memperoleh kepatian tentang haknya.
Pasal 23 (32 HGU dan 38 HGB ) berbunyi :
1. Hak milik demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan   Hak lain harus didaftarkan sesuai pasal 19 UUPA
2. Pendafataran dimaksud merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta syahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 19 UUPA ditujukan kepada Pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan Pendaftaran Tanah yang bersifat rechts kadaster, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Di dalam penjelasan UUPA disebutkan pula bahwa pendaftaran tanah didahulukan penyelenggaraannya di kota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara (Indonesia) tentunya yang dimaksud dalam Undang-Undang ini termasuk daerah hutan maupun laut (marine kadaster.)
  1. Tahap Proses Permohonan
Tata cara permohonan dan pemberian hak atas tanah berlangsung dalam tahap sebagai berikut:
1. Pemohon mengajukan permohonan tertulis kepada pejabat yang berwenang memberikan hak yang dimohon memberikan hak yang dimohon, melalui Kantor Sub Direktorat Agraria setempat. Formulir surat permohonan telah disediakan oleh Kantor Sub Direktorat Agraria. (kantor agraria tingkat Kabupaten/Kotamadya).
2. Kantor Sub Direktorat Agraria memeriksa dan minta dipersiapkan surat-surat yang diperlukan, antara lain:
a. surat keterangan pendaftaran tanah
b. gambar situasi/surat ukur
c. fatwa tata-guna tanah
d. risalah pemeriksaan tanah oleh panitia ”A”
3. Berkas permohonan yang lengkap oleh Kantor Sub Direktorat Agraria dikirim kepada Gubernur/Kepala Daerah setempat melalui Kantor Agraria Provinsi setempat.
4. Kalau wewenang pemberian hak yang dimohon ada di tangan Gubernur/Kepala Daerah, maka Kepala Direktorat Agraria atas nama Gubenur mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH).
Jika wewenang dimaksud ada di tangan Menteri Dalam Negeri, maka berkas permohonan yang lengkap disertai pertimbangan setuju atau tidak oleh Kepala Direktorat Agraria dikirimkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Agraria. Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak.
5. Surat Keputusan Pemberian Hak Diserahkan kepada pemohon.
6. Pemohon memenuhi semua persyaratan yang dicantumkan dalam Surat Keputusan Pemberian Hak.
7. Hak atas tanah itu didaftarkan oleh pemohon di Kantor Sub Direktorat Agraria setempat.
8. Kantor Sub Direktorat Agraria mengeluarkan sertifikat hak atas tanah dan menyerahkannya kepada pemegang hak
  1. Permasalahan Pendaftaran Tanah
Sesuai ketentuan pasal 19 UUPA untuk kepastian hak dan menjamin kepastian hukum hak atas tanah pelayanan pendaftaran tanah di lapangan tidak dapat dipisahkan atau digabung dengan kegiatan lain pengukuran kadastral yaitu kegiatan pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah dengan kegiatan pendaftaran hak serta pemberian surat-surat tanda bukti hak merupakan paket kegiatan yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu pasal 19 UUPA.
1. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah.
Ketentuan dalam Perpres mengenai organisasi BPN merupakan suatu kemajuan dengan dibentuknya suatu Deputi baru mengenai Survei, Pengukuran dan Pemetaan. Kegiatan kedeputian ini khususnya untuk menunjang kegiatan BPN terutama kegiatan untuk penyediaan peta dasar maupun peta-peta tematik serta jaringan titik dasar teknik dalam rangka pelayanan pertanahan di BPN atau instansi lain yang memerlukan.
Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan pada prinsipnya tidak melakukan pengukuran kadastral karena kewenangan tersebut merupakan kewenangan Deputi yang membidangi Pendafataran Tanah. Kegiatan pengukuran kadastral adalah pengukuran yang berkaitan dengan hak atas tanah khususnya untuk kegiatan pengukuran bidang tanah yang kemudian dipetakan pada peta pendaftaran dan dibukukan pada daftar tanah.
Dari uraian di atas untuk percepatan penyusunan data penguasaan tanah dalam rangka menunjang percepatan pensertifikatan tanah seharusnya pemerintah memprioritaskan kegiatan Deputi Survei, Pengukuran dan Pemetaan untuk membuat peta dasar skala besar dan peta bidang-bidang tanah maupun peta tematik lainnya secara digital.
Peta dasar dan peta bidang-bidang tanah yang dibuat oleh BPN seharusnya nilai pembuatannya akan lebih murah karena peta-peta tersebut dapat pula dimanfaatkan oleh instansi lain seperti Kantor PBB, Dinas Tata Kota, Perusahaan Gas, Air Minum, PLN, Kependudukan dan Kantor Pos untuk menunjang kode pos. Saat ini peta dasar dengan skala besar dan peta-peta bidang tanah digital sangat diperlukan dalam rangka kegiatan pengemudi untuk mencari alamat yang dituju dengan menggunakan GPS.
Penerbitan Peta Digital tersebut sangat diperlukan dalam rangka mengembangkan  sistem geografis dan sistem informasi di bidang pertanahan untuk terciptanya Sistem Pertanahan Nasional (Simtanas) yang berbasis bidang tanah.
Kegiatan Perpetaan dan pembukuan tanah yang merupakan kegiatan lanjutan dari pengukuran bidang tanah sangat diperlukan dalam rangka terciptanya kepastian hak dan tertib administrasi pertanahan. Bidang-bidang tanah yang telah diukur mengenai letak dan batas-batasnya dipetakan / dimasukkan ke dalam peta pendaftaran / kegiatan perpetaan dan bidang-bidang tanah tersebut dibukukan dalam suatu daftar yang disebut daftar tanah. Bidang-bidang tanah di dalam daftar tanah disusun berdasarkan nomor urut yaitu nomor identitas bidang atau NIB yang merupakan nomor identitas tunggal dari suatu bidang tanah (single identity number). Dalam daftar tanah dicantumkan pula mengenai siapa yang menguasai atau pemilik tanahnya serta asal / status tanah tersebut seperti tanah adat, tanah negara atau tanah yang telah memiliki sesuatu hak atas tanah termasuk data mengenai P4T (Penguasaan Pemilikan Pengunaan dan Pemanfaatan Tanah). Apabila data peta pendaftaran dan daftar tanah ini telah lengkap maka diharapkan pelayanan pertanahan dapat dilakukan lebih cepat dan lebih terjamin kepastian haknya serta tidak dibutuhkan lagi surat keterangan lurah atau kepala desa mengenai girik, petuk dan lain-lain yang sebenanrnya adalah bukti pembayaran pajak yang saat ini kegiatan pengadministrasian  girik dan petuk secara prinsip sudah tidak dilakukan.
Kegiatan pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah yang disebut pula  dengan kegiatan fisik kadaster merupakan kegiatan untuk mendapatkan data awal yang sangat diperlukan untuk pelayanan di bidang pertanahan seperti yang telah diuraikan di atas.
2. Pendaftaran Hak dan Penerbitan Surat Tanda Bukti Hak
Dengan terbitnya ketentuan pasal 19 UUPA maka sistem pendafataran tanah di Indonesia berubah dari sitem pendafataran akte menjadi sistem pendafataran hak untuk itu diterbitkanlah peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sistem pendaftaran tanah setelah UUPA mewajibkan Departemen Agraria waktu itu untuk menerbitkan buku tanah sesuai dengan sistem Torens (Australia) yang dianut sistem pendafataran tanah Indonesia. Buku tanah adalah tempat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah, peralihan hak dan pembebanan hak maupun lahirnya hak atau hapusnya hak atas tanah yang sebelumnya kegiatan pendaftaran tanah tidak pernah melakukan hal tersebut.
Sebagai tuntutan sistem pendaftaran hak sesuai UUPA dimana buku tanah tempat mendaftarakan hak yang dialihkan atau dibebankan berdasarkan akte PPAT, maka  akte yang dibuat para PPAT haruslah dipastikan kebenaran formalnya sehingga Departemen Agraria/BPN perlu untuk menerbitkan blangko akte yang dapat dikontrol kebenarannya dengan kode dan nomor tertentu untuk menjamin kebenaran formal akte tersebut.








BAB V
PENUTUP
  1. A. Kesimpulan
Setiap obyek pendaftaran tanah harus didaftarkan kepada pejabat yang berwenang melalui proses yang telah di tetapkan dengan merujuk pada asas-asas pendaftaran tanah.
Dimana pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadic. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik ini didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan mentri.
Dalam hal suatu wilayah belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik, maka pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadic. Pendaftaran secara sporadic adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendafataran tanah dalam suatu wilayah secara individual atau masal. Pendaftaran tanah secara sporadic ini tentunya dilakukuan atas permintaan pihak yang berkepentingan, tanpa adanya suatu penetapan terlebih dahulu dari menteri atas tanah tersebut dan dihadapan pejabat yang berwenang.
Sehingga memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah dan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.
kegiatan BPN khususnya pendaftaran tanah perlu mendapat prioritas dalam pembuatan peta dasar atau peta tematik terutama peta bidang tanah secara digital. Sistem informasi pertanahan yang ditunjang dengan kegiatan komputerisasi pertanahan (LOC/Land Office Computeritation) perlu diteruskan dan dikembangkan sehingga dapat tercipta suatu sistem pertanahan yang berbasis bidang tanah dengan memiliki nomor identitas tunggal atau nomor identitas bidang. Suatu hal yang paling penting dilakukan adalah kegiatan fisik kadaster yaitu suatu kegiatan pembuatan peta pendaftaran yang dilengkapi data penguasaan dan pemilikan tanah dalam bentuk daftar tanah yang kegiatannya dimulai dari perkotaan hingga pedesaan untuk mendapatkan data-data spasial yang dilengkapi dengan data P4T.
  1. B. Saran
Seyogyanya strategi pembangunan hukum agraria nasional dapat menampung aspirasi masyarakat hukum adat. Antara lain :
1) Perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional secara mandiri sehingga masyarakat akan mengerti pentingnya sertifikat tanah hak milik, sehingga perlu dilakukan pendaftaran tanah.
2) Dengan berlakunya PP No.24 Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah di Indonesia bukan diutamakan didaerah perkotaan tetapi pendaftaran hendaknya dilakukan di desa terutama desa tingkat ekonomi lemah, apalagi masyarakat di pedesaan kurang begitu mengerti bagaimana pendaftaran tanah dan pentingnya pendaftaran tanah.
Demikian tulisan ini dibuat untuk memberikan gambaran mengenai pendaftaran tanah dan prinsip-prinsip kegiatannya.
DAFTAR PUSTAKA
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990.
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997
Undang-Undang Pokok Agraria